
Ketidakberdayaan yang ia alami, nyaris sama dengan kebanyakan orang, arno menerima gaji ketika pekerjaannya telah seminggu dikerjakan, praktis ia menerima gaji setiap hari sabtu, ita ia menerima gaji setiap bulan di akhir bulan, setelah sebulan bekerja baru gaji dibayarkan oleh majikannya. Suto sebagai tukang kayu ia dibayar setelah barang yang dikerjakan selesai dibuat, baru kemudian ia bisa terima gaji, selama duit cadangan untuk konsumsi masih ada, ia menggunakan uang itu untuk konsumsi. Lain lagi dengan Ngad, sebagai pegawai bergaji kecil, ia harus mengutang dahulu ke koperasi untuk memenuhi kebutuhan tak terduganya, ia juga menerima gaji di akhir bulan, itupun harus dipotong dengan tunggakan koperasi.
Lain lagi dengan nasib, bon, ia sebagai freelance di perusahaan konsultan, sebagai tukang gambar ia meminta tarif tertentu untuk satu kali gambar sedangkan perusahaan menaikan dua kali lipat dari ongkos gambar yang dikerjakan oleh konsultan, dan gambar akan dibayar setelah disetujui, setelah gambar selesai dikerjakan, pemesan belum tentu langsung setuju dengan apa yang telah dikerjakan maka ia harus mengulang lagi gambar-gambar tersebut, tidak cukup untuk sekali gambar itu sehari dua, padahal untuk satu waktu lebih dari 6 atau 7 gambar.
Maka revisi tiap gambar jelas memerlukan waktu. Nah masalahnya, dari awal sampai akhir kalau pekerjaan belum di acc ia tidak akan menerima upah. Lalu bagaimana dengan cara hidup mereka ? tetap saja masih ngutang di sana sini. Tidak peduli betapa menterengnya lokasi usaha, besarnya bendera bernaung, atau tingginya jabatan, kalau belum mengerjakan sesuatu maka tidak akan menerima upah.
Kapan ya orang-orang seperti mereka, seperti aku ini yang notabene karyawan, dapat menikmati sebagian upah dibayar dimuka, bukan apa-apa sih. Logikanya kalau semua hal dikerjakan kan memerlukan dana untuk bekerja, yang untuk biaya dapurlah, biaya tranpostasi-lah, biaya telpon-lah, biaya internetlah, dan lain-lain, tetapi kan tetap untuk menunjang pekerjaan ibarat kereta nggak ada bahan bakar kereta nggak bisa berjalan. Kan begitu. Nah, demikian juga untuk para peneliti, guru-guru swasta, karyawan, freelance, pegawai percetakan, wartawan, penulis, dan lain-lain.
Bagaimana orang dapat bekerja dengan maksimal kalau harus nyambi-nyambi supaya dapur tetap dapat mengepul.
Upah kita ini selalu diukur dengan pihak perusahaan, kalau perusahaan merugilah, jaminan kerjanyalah, jaminan lain-lainnya lah, itu semua kan bisa di atur. Tak habis pikirlah kok perusahaan ingin menangnya sendiri ya..?? dengan aturan-aturan yang mereka buat…
Kapan ya, sebagai orang berpenghasilan kecil dapat menikmati gaji di awal bulan, atau paling tidak setiap saat diperlukan bisa cair. Bukankah perusahaan walaupun seberapa perusahaan, tanpa karyawan, sekecil apapun itu tidak akan bisa berjalan dengan baik. Kenapa karyawan kecil selalu menjadi obyek untuk peningkatan perusahaan mereka, walaupun tidak semua perusahaan seperti itu. Memang banyak yang berkepentingan disana, sehingga aturan-aturan yang dibuat selalu merujuk ke kepentingan perusahaan…
Saya kira masih banyak lagi contoh disekitar kita bahwa nilai atas kinerja seseorang dinilai dari hasil kerjanya. Kenapa, mesti karyawan yang harus nombok dahulu, itupun bahkan banyak yang tanpa kompensasi, istilahnya gini. Karyawan punya motor, motor digunakan untuk bekerja. Apakah perusahaan memikirkan bagaimana suku cadang kalau motor ganti onderdil, bagaimana ganti olie tiap bulan, bagaimana servis rutin bulanan. Padahal kalau sektor usaha membeli motor untuk operasional, coba kalau mereka mikirkan jika motor itu dianggap sebagai sewa dari perusahaan ke karyawan. Toh itu juga untuk meperlancar usaha. Coba kalau motor dianggap sewa, toh misalnya sehari 5000 saja, bukankan karyawan dapat tambahan 150ribu dalam sebulan, coba kalau perusahaan harus beli ... wah... saya kira mereka tak mau.. kalau ada 11ribu karyawan.. tambah semakin ndak mau...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar :